Demokrasi
merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat baik secara langsung maupun perwakilan.
Berbicara soal demokrasi tidak terlepas dari yang namanya kekuasaan, kekusaan
yang di landasi oleh nilai-nilai dan etika yang menghargai martabat manusia.
Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang dan di dalam sistem demokrasi warga
mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama dalam mengatur pemerintahan di
dunia publik. Sedangkan demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Salah satu ciri demokrasi adalah
pemilihan umum (pemilu) secara langsung. Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang di laksanakan secara bebas, rahasia, jurjur
dan adil dalam negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan mekanisme penting dalam
sebuah negara, terutama yang menggunakan jenis sistem politik demokrasi
liberal. Pemilihan sebuah sistem pemilihan umum perlu disepakati bersama antara
partai-partai politik yang terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan
pemerintah.
Sebelum
dilakukan pembahasan atas sistem pemilu yang pernah di terapkan di Indonesia,
ada baiknya dijelaskan sistem pemilu
terlebih dahulu. Sistem pemilu di dunia dibagi menjadi empat, yaitu
sistem mayoritas/Pluralitas, sistem proposional, sistem mixed dan sistem other.
Sistem
Mayoritas/Pluralitas menghendaki kemenangan partai atau calon legislatif yang
memperoleh suara terbanyak. Calon legislatif atau partai dengan suara yang
kalah otomatis tersingkir begitu saja. Varian dari sistem Mayoritas/Plularitas
adalah First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan
Party Block Vote.
Sistem proporsional biasanya diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian
Plural ataupun multipartai (banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah
pemilihan, calon legislatif ataupun partai politik dapat mengakumulasikan suara
dari daerah-daerah pemilihan lain, sehingga memenuhi kuota guna mendapatkan
kursi. Varian sistem Proporsional adalah Proporsional Daftar dan Single
Transverable Vote.
Sistem
Mixed (campuran) merupakan pemaduan antara sistem Proporsional dengan
Mayoritas/Pluralitas. Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara beriringan.
Hal yang diambil adalah ciri-ciri positif dari masing-masing sistem. Varian
dari sistem ini adalah Mixed Member Proportional dan Parallel.
Sistem
Other/Lainnya adalah sistem-sistem pemilu yang tidak termasuk ke dalam 3 sistem
sebelumnya. Varian dari sistem lainnya ini adalah Single No Transferable Vote
(SNTV), Limited Vote, dan Borda Count.
Indonesia
telah menyelenggarakan 10 kali pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Khususnya untuk pemilihan anggota parlemen,
baik pusat maupun daerah yang menggunakan jenis proposional dan distrik.
Masing-masing pemilu memiliki karakteristik masing-masing bergantung pada tipe
sistem politik yang berlangsung.
Pemilu 1955
Pemilu
yang dilangsungkan pada masa revolusi ini dilaksanakan sebanyak dua kali untuk meilih
anggota DPR yang diikuti oleh 29 partai politik dan individu pada tanggal 29
september 1955 serta pada 15 Desember 1955 untuk memilihan anggota dewan
konstituante. Pemilu 1955 merupakan pelaksanaan yang sangat menarik karena
tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meskipun yang menjadi
calon anggota DPR adalah perdana mentri dan mentri yang sedang memerintah,
mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepaa pejabat bawahan
untuk menggiring pemilihan yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok
pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan
memenangkan pemilu dengan segala macam cara. Pada akhirnya pemilu DPR memilih
257 anggota DPR sementara Konstituante memilih 514 anggota Konstituante.
Pemiluu 1955 dianggap sebagai pemilihan umum yang paling demokratis.
Pemilu 1971
Pemilu
1971 diadakan pada 5 juli 1971. Pemilu ini dilakuakan berdasarkan UU No. 15
Tahun 1969 tentang pemilu dn UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR<
DPR dan DPRD. Pada pemilu ini berbeda dengan pemilu 1955 karena para pejabat
negara diharuskan bersikap netral, sedangakan pada pemilu 1955 pejabat negara
bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Pemilu diadakan di 26 provinsi
Indonesia dengan sistem Proposional, yang berarti rakyat pemilih mencoblos
tanda gambar partai. Pemilu ini adalah pemilu pertama setelah orde baru dan
diikuti oleh 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Pemilu 1977-1997
Pemilu-pemilu
berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan presiden Soeharto pada
masa Orde Baru. Sejak pemilu 1977 peserta yang mengikuti pemiu ini jauh lebih
sedikit dari tahun-tahun sebelumnya, ada dua parpol dan satu Golkar. Ini
terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha
menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Parpol
dan Golkar. Jadi dalam 5 kali pemilu yaitu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997 pesertanya hanya PPP, Partai Demokrasi Indonesia dan Golkar. Pemilu-pemilu
tersebut semuannya dimenangkan oleh Golkar.
Pemilu 1999
Setelah
presiden Soeharto digeserkan dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998 jabatan
presiden digantikan oleh Habibie. Ini merupakan pemilu pertama setelah
runtuhnya masa Orde Baru, yaitu pemilu yang dilangsungka pasa tanggan 7 juni
1999 yang diikuti oleh 48 parpol. Pada pemilu 1999 terdapat perbedaan yang
sangat menonjol dengan pemilu-pemilu sebeumnya sejak 1971 karena diikuti oleh
banyaknya peserta. Ini kemungknan krena adanya kebebasan untuk memndirikan
partai politik.
Sebelum
menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan 3 rancangan
undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim 7 yang diketuai
Prof. Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta. Setelah disetujui
DPR, barulah pemilu layak dijalankan.
Dalam
sejarah indonesia tercatat, bahwa Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13
bulan sejak ia naik kekuasan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan
hanya krisis politik tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan
penegakan hukum serta tekanan internasional.
Pemilu 2004
Pemilu
2004 merupakan sejarah tersendiri bagi rakyat Indonesia, sebab pemilu ini
merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden
dan wakil presiden pilihan mereka. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua
putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih
dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai
persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan
Yudhoyono-Jusuf Kala.
Pemilu
2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih
siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen
(DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga
maksud pemilihan tersebut, terdapat 3 sistem pemilihan yang berbeda. Untuk
memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian
Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem
pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk
memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian
Two Round System (Sistem Dua Putaran).
Pemilu 2009
Pemilu
2009 masih menggunakan sistem yang mirip dengan pemilu 2004. Tidak hanya
memilih presiden dan wakil presiden, juga adanya pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada pemilu 2009 terdapat
sistem Parliament Threshold (PT) yang akan dinaikkan menjadi 2,5%. Artinya
hanya parpol yang mencapai perolehan suara nasional sebesar 2,5 % dari jumlah
seluruh suara sah nasional-lah yang berhak mendapatkan kursi di DPR.
Selanjutnya parpol yang tidak mencapai suara sebesar 2,5 % tersebut,
suaranya akan hilang alias hangus alias tidak punya kursi DPR.
Kelemahan sistem politik di Indonesia
Seperti
kita ketahui, hanya sistem proporsional telah berlaku di Indonesia mulai Pemilu
1955 sampai sekarang. Dengan kata lain sistem perwakilaan proposional adalah
sistem yang ditentukan oleh proporsi kursi suatu parpol dalam badan legislatif
akan persis sama dengan proporsi suara yang diperoleh (persentase kursi =
persentase suara). Ada juga yang dkenl dengan sistem perwakilan distrik yaitu
sistem yang ditentukan atas kesatuan geografis dimana setiap geografis/ distrik
hanya memilih seorang wakil dan jumlah distrik yang dibagi sama dengn jumlah
anggota parlemen, sistem distrik lebih menekankan kepada perwakilan teritorial
dan komunitas.
Kelemahan
dari sistem pemilu distrik adalah banyak suara terbuang, kemudian kurang
terakomodir suara dari masyarakat yang minoritas serta kurangnya representatif
karena calon yang kalah kehilangan suara pendukungnya. Kemudian bagi sistem
proporsional pemilih tidak mengenal siapa yang dipilih, dan yang terpilih
tersebut lebih bertanggungjawab kepada partai bukan kepada masyarakat. Kemudian
mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai-partai baru, hal ini menyebabkan
banyaknya partai bisa mempersulit terbentuknya pemerintah stabil.
Dari
kelemahan-kelemahan kedua sistem tersebut dapat
menyebabkan persoalan yang terjadi selama masa pemilu yaitu praktek
money politic. Money politic adalah suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan
menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada
proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik
pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih. Hal ini menuntut partai
politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform
politiknya terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tak sedikit,
perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol. Sebut saja masalah golongan
putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan kelompok ini kepada parpol.
Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru
sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.
Misalkan
pada sistem distrik, calon yang kalah akan kehilangan suara pendukungnya.
Kemudian pada sistem perwakilan proporsional, karena banyaknya partai yang
ingin mencalonkan diri, maka calon legeslatif atau parpol akan berlomba-lomba
untuk mendapatkan satu kursi baik di DPR,
DPD dan DPRD. Dengan kata lain, mereka bisa menggunakan money politic
utuk memenangkan kursi tersebut. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk
mengumpulkan uang dari berbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan
korupsi yang dibutuhkan masyarakat. Padahal sudah tertera dalam pasal 218 UU
Nomor 10 Tahun 2008 tentang larangan caleg yang melakukan money politik. Jika
tindak pidana money politic terbukti di pengadilan, maka caleg yang
bersangkutan tidak dapat dilantik sebagai anggota DPRD tingkat kabupaten,
propinsi, pusat maupun DPD.
Dengan
cara money politic hanya calon yang memiliki dana besarlah yang dapat melakukan
kampenye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi
kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas
tinggi sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Efek yang paling
membahayakan dari kebiasaan money politics dalam pemiluadalah
keinginan untuk segera mengembalikan ”modal” yang telah dikeluarkan selama
proses Pemilu. Gaji yang diterima tiap bulan pastilah tidak cukup untuk
mengambalikan modal yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah itu. Jalan
satu-satunya hanyalah korupsi.
Solusi sistem pemilu di indonesia
Dari
kelemahan-kelemahan tersebut harus ada solusinya, yang mungkin dilakukan
kedepan menerapkan sistem presidensial murni. Kemudian pemetaan hubungan antara
ekeskutif dengan legislatif harus jelas, dan sistem partai yang sederhana. Serta
membangun paradigma bahwa institusi parta politik bukan hanya tempat mencari rezeki,
tapi juga melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Salah
satu hal terpenting dalam meningkatkan kualitas proses politik adalah membenahi
kapasitas pengorganisasian proses penyelenggaraan pemilu. Termasuk ke dalamnya
adalah memperkuat kewenangan lembaga pengawas pemilu dalam melakukan kontrol
terhadap berbagai potensi penyelewengan penyelenggaraan proses pemilu.
Hal
lain adalah mendorong proses rekrutmen politik yang lebih rasional dan terbuka,
tidak hanya berdasarkan pertimbangan emosional melalui proses yang tidak
transparan. Untuk itulah mekanisme debat publik perlu didorong dan difasilitasi
secara lebih intensif, agar publik mengetahui kelayakan visi dan misi para
wakil dan para pemimpin politiknya, serta dapat menilainya secara kritis.
Publik perlu didorong untuk lebih mampu merumuskan standar dan parameter yang
jelas bagi penyaringan para pejabat politik yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, baik dari segi kemampuan, sikap dan karakter, etika politik, maupun
kejujurannya. Pola-pola penyaringan terhadap para anggota parlemen dan para
calon presiden yang sudah dilaksanakan oleh negara-negara demokrasi maju dapat
dijadikan acuan, untuk menguji integritas dan visi kepemimpinan dari para
calon. Demikian juga proses uji kelayakan terhadap para pejabat publik. Metode
uji kelayakan yang sudah berjalan selama ini di DPR, perlu diperluas
jangkauannya ke berbagai tingkat dan diperbaiki kualitasnya, serta dengan
keterbukaan yang lebih besar terhadap penilaian masyarakat umum.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar